UU Direvisi, KPK Sulit Ungkap Kasus Kakap
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku akan kesulitan mengungkap perkara megakorupsi jika revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) resmi berlaku. Pasalnya, terdapat kewenangan baru KPK yakni penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus yang penyidikannya memakan waktu lebih dari dua tahun. Juru Bicara KPK Febri Diansyah, mengatakan penyidikan kasus korupsi terlebih kasus kakap yang ditangani lembaga antirasuah terkadang memerlukan waktu lebih dari dua tahun. Salah satunya, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Tubagus Chaeri Wardana (TCW) yang baru saja dirampungkan KPK sejak penyidikannya bergulir lima tahun lalu. Sebab, dibutuhkan ketelitian untuk melakukan penelusuran aset hingga penghitungan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan haram tersebut. Baca Juga Apes, Dua Pemuda di Magelang Dihajar Massa, Gara-gara Mencuri 2 Tundun Pisang \"Kalau penanganan perkara di KPK itu dibatasi waktunya dua tahun mungkin kasus-kasus seperti pencucian uang atau korupsi yang dilakukan TCW tidak akan bisa terbongkar,\" ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (10/10). Maka dari itu, kata Febri, pihaknya memandang revisi UU KPK berisiko melemahkan kinerja lembaga antirasuah itu dalam mengungkap kasus-kasus besar. Menurutnya, hal ini memunculkan inkonsistensi di tengah desakan yang diembuskan oleh banyak pihak, termasuk politikus, untuk mengungkap kasus-kasus kakap. Apalagi, sambungnya, kasus korupsi termasuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Ia menyatakan, aturan tersebut menimbulkan ironi apabila penyidikan kasus tindak pidana umum tidak memiliki batas waktu sedangkan kejahatan serius dibatasi. \"Sehingga menyimpulkan ini adalah salah satu poin yang sangat berisiko melemahkan KPK,\" tandas Febri. Kendati demikian, Febri enggan berkomentar banyak mengenai polemik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK versi revisi. Ia menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). \"Kalau soal perppu kita serahkan saja pada presiden, karena itu domain dari presiden. Kita kembalikan saja pada presiden karena menerbitkan atau tidak menerbitkan perppu itu merupakan otoritas dari presiden,\" tutupnya. Praktisi hukum senior Alamsyah Hanafiah berpendapat, penerbutan perppu untuk membatalkan revisi UU KPK dapat dilakukan. Akan tetapi, ia menilai revisi tersebut terlebih dahulu mesti diberlakukan sebagai undang-undang. \"RUU yang sudah disahkan harus diundangkan dahulu dalam daftar lembaran negara. Baru bisa dibuat perppunya,\" ujar Alamsyah kepada wartawan. Kendati, ia beranggapan, presiden harus melibatkan banyak pihak apabila memutuskan untuk menerbitkan perppu tersebut. Mengingat maraknya protes serta diskursus publik terkait revisi UU KPK. Seperti diketahui, KPK memiliki kewenangan penerbitan SP3. Pasal 40 Ayat (1) perubahan kedua UU KPK menjelaskan, lembaga antirasuah dapat menghentikan proses penanganan perkara jika tak kunjung rampung dalam waktu paling lama dua tahun. Kini, kewenangan anyar tersebut hanya tinggal menghitung hari mengingat UU KPK versi revisi akan berlaku per 17 Oktober 2019 meski belum ditandatangani Presiden Jokowi. (riz/gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: